Announcements:

Kenali Diri supaya Lebih Dekat dengan Sang Ilahi

Ditulis oleh: Salma Noor Fadhila

Sebuah ungkapan masyhur di kalangan Muslim, yaitu “مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه” yang artinya, “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya.” perlu diketahui bahwa di dalam diri manusia tercipta anugerah berupa hawa nafsu. Apa itu nafsu? nafsu diartikan sebagai sebuah dorongan emosional untuk memenuhi kebutuhan, kesenangan, keinginan, bahkan kepuasan diri manusia. Nafsu sejatinya mengandung aspek positif apabila diberikan porsi yang tepat. Kemudian timbul sebuah pertanyaan, “Bagaimana mengelola nafsu sehingga mencapai nafsu yang muthmainnah?” di sinilah kita harus mampu mengenali dan memahami cara kerja nafsu supaya lebih terkendali dan terarah.

Dr. Fahruddin Faiz dalam sebuah kajian di kanal youtube “Sakalima”, menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya terbagi menjadi tiga substansi, yakni jasad, hayat, dan ruh. Tulisan ini akan fokus membahas substansi “hayat”. Hayat terbentuk dari tiga komponen, meliputi akal (daya berpikir), nafsu (daya menggerakkan), dan qolbu (pusat pengendalian diri). Ketiga komponen tersebut memiliki peran masing-masing. Qolbu berperan sebagai raja dan merupakan kunci dari ketiga komponen tersebut, sedangkan hasrat ataupun nafsu hanya sebagai pasukannya, dan akal berperan layaknya panglima perang.

Qolbu akan cenderung menggerakkan akal dan nafsu. Akal akan mencari jalan dengan kecerdasannya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh hati. Apabila hati condong kepada kejahatan maka nafsu akan tergerak untuk melakukan kejahatan, begitupun sebaliknya. Dalam hal ini, akal akan berperan mencari pembenaran atas kejahatan yang telah dilakukan. Maka dari itu, banyak orang jahat yang pandai mengelak disebabkan karena akalnya tetap bekerja layaknya panglima perang.

Beliau juga menyampaikan bahwa terdapat tiga unsur nafsu, yakni nafsu bahimiyah (kehewanan), nafsu sabu’iyah (kebuasan), dan nafsu natiqoh (kecerdasan). Unsur pertama, nafsu bahimiyah yang artinya hanya memikirkan dan mencari apa yang disenangi saja, seperti makan, minum, harta, hasrat seksual dan sebagainya. Nafsu seperti inilah yang harus dikendalikan. Imam Al-Ghazali berkata bahwa nafsu yang terkendali disebut sebagai iffah (kehormatan diri). Apabila fokus seseorang tidak hanya memikirkan uang atau harta yang sifatnya sementara maka kedudukannya di dunia akan lebih terhormat. Oleh karena itu, kekayaan tidak semestinya dijadikan sebagai tujuan utama. 

Unsur kedua, nafsu sabu’iyah yang artinya keinginan untuk mengalahkan atau lebih unggul dari orang lain layaknya binatang buas. Memiliki cita-cita tinggi sangat diperbolehkan, tetapi apabila nafsu sabu’iyah tidak terkendali, manusia akan menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang menjadi tujuannya. Unsur ketiga, nafsu natiqoh yang artinya daya kecerdasan manusia dalam berpikir. Imam Al-Ghazali berkata bahwa walaupun nafsu ini paling aman, tetapi kita harus tetap berhati-hati dan jangan sampai berlebihan. Seseorang yang kekurangan natiqoh bisa menjadi bodoh, sedangkan jika berlebihan akan mendorongnya berperilaku licik. Maka penting mengendalikan nafsu supaya seimbang. Natiqoh yang seimbang inilah dinamakan hikmah (kebijaksanaan ilmu). Hikmah adalah ilmu yang cocok dan  bermanfaat bagi kehidupan.

Setelah memahami ketiga unsur tersebut selanjutnya, kita perlu memahami situasi daripada nafsu. Sebagai contoh, ketika kondisi hayat dan mental kita lemah maka perlu dilatih dengan cara berpuasa. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus dikendalikan, seperti amarah, lawwamah, mulhamah, dan muthmainnah. Dimulai dari kondisi terendah, yaitu amarah. Amarah di sini dapat diartikan sebagai kondisi jiwa yang merasa nyaman atau bangga ketika melakukan keburukan. Kondisi di atas amarah terdapat lawwamah, yaitu kebimbangan antara  kebaikan dan keburukan, akan tetapi keburukan tetap lebih mendominasi. Biasanya setelah melakukan keburukan akan timbul rasa penyesalan dalam diri seseorang. 

Kondisi selanjutnya, mulhamah merupakan kebalikan dari lawwamah. Apabila pada kondisi  lawwamah keburukan lebih mendominasi, maka mulhamah adalah kondisi di mana pilihan kita condong kepada kebaikan. Situasi paling puncak dan paling tenang yaitu muthmainnah, berarti merasa bahagia dalam kebaikan. Ciri-ciri seseorang berada pada situasi ini, biasanya terlihat tenang, tidak mudah tergoda, dan tetap tegak meskipun diterpa banyak godaan. Rute inilah yang akan menghantarkan kita kepada Allah SWT.

Setelah memahami cara kerja nafsu, hendaknya kita belajar mengelola sesuai porsinya. Nafsu yang kurang dari porsinya akan menjadikan seseorang tidak bersemangat menjalani hidup. Sedangkan nafsu yang melebihi porsinya akan menghantarkan seseorang kepada kemaksiatan. Kemampuan mengendalikan nafsu akan membuat hidup menjadi lebih bergairah, berharga, dan lebih bermakna. Perlu diingat juga bahwa nafsu tidak akan bisa dikendalikan melainkan atas pertolongan Allah SWT dan rasa takut kepada-Nya.

Penyunting: Mauliya Redyan Nurjannah

Penyelaras Aksara: Faqiha Mita Afifa

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2024, All Rights Reserved