Announcements:

Makna Filosofis Haji

Ditulis oleh: Achmad Fathurrohman Rustandi[1]

Kenapa orang rela mengantri belasan tahun dan membayar mahal untuk berhaji? Jawaban paling sederhana karena haji diwajibkan Allah Swt., bahkan termasuk rukun Islam. Jawaban yang lebih mendalam bisa dipahami dari makna filosofis haji. Ibadah haji bak permainan kalau tidak memahami ruhnya. Haji merupakan salah satu ritual ibadah tertua yang pernah dilakukan umat manusia, diyakini sudah dilakukan sejak masa Nabi Ismail a.s., sampai Nabi Muhammad Saw.

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

“(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafas, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)

Allah Swt., menggambarkan watazawwadū (berbekallah) pada ayat di atas, dalam konteks haji artinya bekal rohani yang bermakna takwa. Takwa dekat dengan khawf (takut) dan takut menjadi salah satu indikator untuk menjadi tamu Allah Swt.

Ibadah haji adalah undangan Allah Swt., pada dasarnya semua manusia mendapatkan undangan tersebut. Namun, yang bisa memenuhi undangan hanyalah mereka yang istiṭ‘ah (mampu).

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ

“…(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS: Ali Imran [3]: 97)

Kata walillāhi dalam ayat di atas menunjukkan penekanan bahwa ibadah haji hanya untuk Allah Swt., tidak untuk yang lain, baik jabatan, status sosial, pujian manusia, dan sejenisnya.

Ihram menjadi rukun yang harus dilengkapi saat melaksanakan ibadah haji. Dalam ihram, semua pakaian yang biasa digunakan harus dilucuti, semua mengenakan pakaian yang sama, hanya dua lembar kain. Apa pun jabatan, status sosial, ras, suku, dan warna kulit selagi berihram tetap memakai pakaian yang sama. Selain itu, pakaian yang biasa dijadikan sebagian orang untuk penanda status sosial ditinggalkan, hanya ketakwaan yang menjadi penentu derajat manusia di sisi Allah Swt.

Perjumpaan dengan Tuan Rumah

Haji merupakan ibadah yang demonstratif, dari awal di Tanah Air sampai akhir di Tanah Suci manasik sangat demonstratif. Rukun dan wajib haji semuanya ibadah fisik, bahkan walau tidak membaca doa secara lantang selagi ibadah fisik wajib dan rukun, maka hajinya tetap sah.

Dalam kurikulum haji, manusia yang melaksanakan haji disebut sebagai tamu, sampai diberi julukan khusus, seperti dhuyūf Allāh (para tamu Allah Swt.), dhuyūf Ar-Rahmān (para tamu Tuhan yang Maha Pengasih). Hal paling istimewa, tuan rumah yang menyambut para tamu terhormat ini adalah Allah Swt. sebagai seorang tamu yang baik tentu harus menjaga etika. Diibaratkan seperti rakyat berkunjung ke Istana Presiden saja, tentu akan menjaga sikap, perkataan, dan perbuatannya. Demi menjaga etika di hadapan tuan rumah yang mulia. Apalagi yang menjadi tuan rumah jemaah haji adalah Sang Pencipta Alam Raya, Allah Swt. Bahkan ada ulama yang sangat hati-hati menjaga adab dan sikapnya sampai tidak mau buang air besar di Tanah Haram. 

Sebagai orang yang bertamu tentu ingin berjumpa tuan rumahnya. Hamzah Fansuri menulis syair, “Aku mencari Allah di Ka’bah, tidak kutemukan, sampai aku menemukan Allah dalam kamarku.”

Bagaimana tamu bisa bertemu tuan rumahnya? Tergantung ikhtiar tamu untuk membuktikan sikap keberagamaan dan keseriusannya. Tamu yang baik adalah tamu yang menyiapkan bekal perjalanan, dan bekal terbaik adalah takwa. Sangat merugi seseorang yang melakukan perjalanan tetapi ketika sampai di tujuan justru diabaikan, tidak ditemui tuan rumah. Allah Swt. sebenarnya telah men-spill agar manusia bisa berjumpa dengan-Nya.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab Suci (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak membuat padanya sedikit pun kebengkokan.” (QS. Al-Kahf [18]: 110)

Haji Sebagai Gerakan Politik

Bagi bangsa Indonesia, haji tidak sekadar ibadah ritual, ia menjelma menjadi gerakan politik yang membebaskan. Zaman dahulu perjalanan haji membutuhkan waktu berbulan-bulan menggunakan kapal laut. Lamanya durasi, memungkinkan para jemaah haji melakukan konsolidasi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan bangsa lain, seperti bangsa Persia. Sekitar tahun delapan puluhan, bangsa Iran biasa melakukan agitasi politik di Masjidil Haram, sesuatu yang sulit dilakukan di Iran.

Di abad 17, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, menangkap dan mengasingkan Syekh Mahmud Al-Bantani dan Syekh Yusuf Al-Makassari ke Ceylon (Sri Lanka). Jemaah haji yang berlayar dari Nusantara banyak transit ke Ceylon untuk mengisi perbekalan sebelum melanjutkan pelayaran ke Hijaz. Perjumpaan dengan tokoh eksil tersebut memberikan suntikan semangat perjuangan kepada jemaah haji untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sepulang dari haji, sering terjadi semangat perjuangan kemerdekaan kembali berkobar dan terjadi pemberontakan. Sartono Kartodirjo merekam, tanpa ada haji tidak ada pemberontakan pribumi di Tanah Air.

Haji secara geososiologi adalah proses inisiasi dari saya kepada umat Islam global. Tanah Haram menjadi tempat melebur berbagai tradisi umat global. Menyadarkan bahwa bangsa yang berbeda-beda dari berbagai penjuru dunia adalah bagian dari satu komunitas sosial yang amat besar yang disebut ummah. Haji adalah jembatan yang menghubungkan Islam dengan tradisi keagamaan sebelumnya, melalui berbagai ritual. Haji sebagai ziarah sejarah, aktifitas penelusuran masa lalu melalui berkunjung ke berbagai situs sejarah. Seyogyanya haji bisa menggerakkan komunitas iman ini menjadi sebaik-baiknya ummah.[]


[1] Pengasuh Pesantren Suciati Saliman & Direktur Madina Institute Indonesia

Penyunting: Mauliya Redyan Nurjannah

Penyelaras Aksara: Nuha Nur Azizah 

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *