Perempuan Bekerja Harus Paham Etika!
- 5 Juli 2024
- Masjid Suciati Saliman
- Fikih
- 234 views
Ditulis oleh: Mauliya Redyan Nurjannah
Berbicara tentang perempuan selalu menjadi bahan diskusi yang menarik. Bagaimana tidak? Islam sangat memuliakan kaum perempuan. Terbukti dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang makhluk Allah yang istimewa ini, seperti Surah an-Nisā, Surah Maryam, Surah Mujādalah, Surah al-Mumtahanah, Surah at-Talāq, dan Surah at-Tahrim.
Penulis dalam hal ini akan mengawali dengan pertanyaan yang sering menjadi pemantik diskusi ketika membicarakan tentang perempuan “Apakah Islam membolehkan perempuan bekerja?” Pertanyaan ini memunculkan perbedaan pendapat dengan berlandaskan pada argumentasi yang kuat di setiap pendapatnya. Argumentasi yang tidak membolehkan sering kali memandang bahwa perempuan hanya menjadi sumber fitnah, perempuan lemah, dan perempuan yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami akan menjadikannya sombong.
Menjadi sebuah keniscayaan bahwa umumnya perempuan dianggap sebagai simbol otoritas dominan di wilayah domestik. Namun, bukan berarti menutup ruang bagi perempuan untuk berkiprah di ranah publik. Begitupun dengan laki-laki yang sejatinya dituntut untuk mencari nafkah, sebagaimana tercantum dalam QS al-Nisa [4]: 34 dan QS. al-Baqarah [2]: 233. Dalam hal ini, Islam tidak serta merta melarang laki-laki untuk melakukan pekerjaan domestik. Ketika Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa perempuan itu manusia, maka jelas laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi subjek kehidupan seutuhnya. Pada intinya, Allah Swt. memberikan peluang bagi keduanya untuk meraih karunia-Nya.
“Orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 71).
“Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl [16]: 97).
Walaupun demikian, masih merajalela stereotip tentang perempuan merupakan makhluk yang lemah dan hanya akan menjadi sumber fitnah ketika berada di luar. Dalam hal ini memang Rasulullah Saw. pernah mengungkapkan, perempuan adalah sumber fitnah.
Dari Usamah bin Zaid r.a., dari Nabi Saw., bersabda: “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki kecuali (ujian mengenai pesona) perempuan.” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, no. 5152)
Perlu disadari, hadis tersebut sering kali disalahtafsirkan. Dampak buruknya banyak yang beranggapan kalau perempuan hanya akan mencapai derajat mulia apabila berdiam diri di rumah dan melayani suami. Padahal sebenarnya siapa saja bisa berpotensi sebagai sumber fitnah, baik itu laki-laki maupun perempuan. Poin pentingnya adalah hadis ini dapat dijadikan sebagai reminder bagi perempuan untuk menjaga izzah (kehormatan) dan iffah (kesucian diri). Tentunya tanpa menafikan bahwa penting juga bagi laki-laki untuk menjaga pandangannya. Hal ini mungkin akan lebih adil dibanding menjadikan hadis tersebut untuk mengurung perempuan di rumah dan melarangnya berkarya.
Selain itu, tak banyak yang mengetahui bahwasannya perempuan merupakan sumber keimanan, pengetahuan, kebaikan, dan berbagai anugerah. Artinya, perempuan yang memiliki kapasitas dalam hal pendidikan, ekonomi maupun sosial, kebermanfaatannya akan lebih luas jika mengabdikan diri untuk masyarakat. Hal tersebut juga merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. dan merupakan bentuk pengabdian terhadap agama-Nya.
Apabila perempuan dilarang bekerja hanya karena argumentasi akan menjadi sumber fitnah maka tentu menjadi penghalang juga bagi perempuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Padahal perempuan adalah madrasah pertama bagi anaknya. Di lingkungan pendidikan saat ini, terutama di perguruan tinggi sangat sulit bahkan mustahil perempuan dan laki-laki tidak berinteraksi sama sekali. Entah karena dituntut untuk kerja kelompok atau berorganisasi.
Lalu, bagaimana jika perempuan diberikan kesempatan bekerja dan memiliki penghasilan lebih besar dibandingkan penghasilan suami? Tentu hal ini akan menjadi problematik apabila perempuan tidak mampu mengelola diri dan hartanya dengan baik. Banyak perempuan di zaman Rasulullah Saw. yang memiliki penghasilan lebih tinggi dibandingkan dengan suami. Termasuk istri tercinta Rasulullah Saw., beliau Siti Khadijah binti Khuwailid. Siti Khadijah terkenal sebagai pedagang yang kaya dan dermawan. Beliau menjadikan hartanya untuk membantu dakwah Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Zainab al-Tsaqafiyah r.a., istri dari Abdullah bin Mas’ud yang menafkahi suaminya dan anak yatim. Sehingga Rasulullah Saw. menyatakan bahwa Zainab mendapatkan dua pahala, yakni pahala menafkahi keluarga dan pahala sedekah.
Bayangkan ketika di dalam rumah tangga seorang suami dalam kondisi sakit dan tidak mampu menafkahi istri. Kondisi ini akan memperburuk suasana rumah tangga karena anak-anak membutuhkan biaya pendidikan. Sedangkan anak adalah amanah, salah satu hak yang sepatutnya didapatkan adalah pendidikan yang layak sehingga tumbuh generasi yang baik di masa depan. Diberikannya peluang untuk bekerja akan menjadikan perempuan lebih mandiri dan mencegah ketergantungan pada suami. Apabila terjadi kondisi yang tidak diinginkan dalam rumah tangga, siapa lagi yang akan mengambil peran jika bukan perempuan. Dapat dikatakan, hal ini juga akan menyelamatkan rumah tangga dari permasalahan ekonomi.
Selain itu “semua aktivitas istri harus seizin suami” sering dijadikan sebagai alasan seorang suami mengeksploitasi istri. Bisa dibayangkan apabila ada seseorang suami yang mengharamkan seorang istri untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya agama membolehkannya. Akan tetapi karena keterbatasan pemahaman suami, sehingga apapun yang dilakukan istri dilarang dan dianggap dosa. Tentu komunikasi dan izin dalam urusan rumah tangga diperlukan dengan catatan untuk memastikan keduanya sama-sama ridho. Menjaga komunikasi ini merupakan tugas laki-laki dan perempuan sehingga tercipta keluarga yang indah.
Islam sejak dulu juga telah memberikan contoh bagaimana perempuan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menebar kebermanfaatan. Siti Aisyah binti Abu Bakar r.a. yang meriwayatkan 2210 hadis yang muridnya bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah r.a. yang melindungi Nabi saat Perang Uhud, sehingga diberi julukan sebagai Ummu Imarah (ibunda para pemimpin). Sejarah telah mematahkan statement bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Era sekarang pun perempuan di Inggris memainkan peran yang besar sebagai penggerak perekonomian.
Banyak tokoh Islam saat ini juga berperan penting di masyarakat, seperti Ummuna Hajjah Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid. Sebagian orang mengenal beliau sebagai mujahid yang berjuang menegakkan ajaran Islam melalui organisasi yang didirikan oleh ayah beliau. Banyak lagi tokoh Muslim Indonesia dan dunia yang patut dijadikan contoh dan berkiprah di luar rumah bukan menjadi sebuah larangan.
Syekh al-Ghazali, seorang ulama kharismatik al-Azhar dari Mesir tidak setuju jika perempuan dilarang mutlak keluar rumah. Sikap non-diskriminatif terhadap perempuan juga ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. Beliau memanfaatkan kekuasaannya sebagai laki-laki sekaligus sebagai Nabi untuk memberikan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan dalam interaksi personal maupun sosial. Sejatinya memang perempuan makhluk istimewa dan mengurungnya di rumah hanya akan menghambat mereka untuk berkarya.
Penting dipahami, dibolehkannya perempuan bekerja di luar rumah bukan berarti memberikan kebebasan penuh kepada mereka dalam mengekspresikan dirinya. Islam dalam hal ini memberikan rambu-rambu yang dapat menjadi alarm bagi perempuan dalam bekerja. Aturan-aturan tersebut wajib dipahami oleh perempuan yang bekerja di luar rumah. Apabila perempuan berkiprah di ruang publik tanpa memahami aturan-aturan tersebut, justru tidak akan menjadikannya mulia, melainkan derajanya rendah di hadapan Allah Swt. Lalu, apa saja aturan bagi wanita yang bekerja di luar rumah?
Perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah asalkan tidak mengabaikan peran dalam rumah tangga. Sebuah penelitian tentang bagaimana karir profesional wanita dalam perspektif Al-Qur’an dijelaskan bahwa Islam melarang wanita yang bekerja di luar rumah tapi mengabaikan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal tersebut tentunya menyalahi aturan agama karena memprioritaskan karir bukan menjadi keharusan, sedangkan menuntaskan peran dalam rumah tangga adalah yang utama.
Selain itu, perempuan ketika bekerja harus tetap menjaga kehormatan dan kesucian diri dengan tetap menutup aurat dan tidak berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis. Memegang prinsip dan memiliki tameng khusus sehingga tidak terjerumus dalam perangkap kemaksiatan. Terpenting juga adalah pendapatan yang dimiliki oleh perempuan tidak menjadikannya merasa tinggi di hadapan suami. Sebab setinggi apapun derajat perempuan, apabila tidak patuh pada suami maka kedudukannya di dunia tidak akan berarti.
Tulisan ini sejatinya tidak untuk membandingkan, lebih baik mana menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga. Karena melayani suami dan mengurus anak merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Akan tetapi, alangkah mulianya ketika perempuan mampu menebar kebermanfaatan kepada masyarakat, di samping memainkan peran sebagai seorang istri dan ibu.
Telah dijelaskan juga dalam sebuah hadis “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa”. Dan “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain”. Artinya, untuk mencapai derajat sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia adalah selalu berupaya untuk menjadi insan yang rahmatan lil alamin, berguna bagi diri sendiri, masyarakat, dan agama. Dan hal tersebut boleh dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan asalkan sesuai dengan koridor Islam. []
Referensi
Rofiah, Nur. 2020. Nalar Kritis Muslimah:Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan, dan Keislaman. Bandung: Afkaruna.
Kodir, Faqihuddin Abdul. 2021. Perempuan Bukan Sumber Fitnah: Mengaji Ulang Hadis dengan Metode Mubadalah. Bandung: Afkaruna
Kodir, Faqihuddin Abdul. 2022. Perempuan Bukan Makhluk Domestik: Mengaji Hadis Pernikahan dan Pengasuhan dengan Metode Mubadalah. Bandung: Afkaruna
Mavin, Sharon, 2001. “Women’s Career in Theory and Practice: Time for Change?” Women in Management Review 16 (4): 183–92. https://doi.org/10.1108/09649420110392163.
Milasari, Aida, dkk. 2022. Menjadi Feminis Muslim. Bandung: Afkaruna.
Nurmila, Nina. 2022. Menjadi Feminis Muslim. Bandung: Afkaruna
Riyadi, D. (2015). Arguments of Women Empowerment in Islam. 8, 241–264.
Saleh, Muhamad. 2022. “Women’s Professional Career Through Al-Qur ’an’s Perspectives.” Interdisciplinary Social Studies. https://doi.org/https://iss.internationaljournallabs.com/index.php/iss Women’s.
Sitti Raehanun. (2024, June 13). https://kupipedia.id/index.php/Sitti_Raehanun. Diakses pada 27 Juni, 2024
Penyunting: Ayu Festian Larasati
2 Thoughts to 'Perempuan Bekerja Harus Paham Etika!'
Faridah
6 Juli 2024 at 5:05 amMasyaallah tulisan ne I like karena dizaman skrng ne perempuan klw ng kerja kaya dianggap sebelah mata lebih2 dr keluarga pasangan kita dan dilingkungan tempat tinggal klw dipikir memang mengabdi ke keluarga atau kesumai jauh lebih berqah dan bernilai ibadah namu karena arus zaman perempuan semakin terdepan dlm semua bidang, sehingga perempuan dituntut tuk berpendidikan tinggi byr bisa berkarir dan bisa bermanfaat tuk ummat
Masjid Suciati Saliman
13 Juli 2024 at 4:51 pmTerima kasih banyak apresiasinya, kk. Semangat, semoga menjadi perempuan yang selalu mampu menebar kebermanfaatan