Announcements:

Dilema Mualaf: Urgensi Madrasah Mualaf di Indonesia

Ditulis oleh Achmad Fathurrohman[1]

Tidak ada data pasti jumlah mualaf di Indonesia. Republika.co.id mengutip data Mualaf Center Indonesia (MCI) dari tahun 2003-2019, terdapat sekitar 58.000 mualaf di Indonesia. Jika menggunakan data ini, rata-rata 3.625 mualaf setiap tahunnya. Tidak menutup kemungkinan angka di lapangan jauh lebih besar.

Lembaga yang menaungi mualaf di Indonesia, di antaranya: Kementerian Agama, Baznas, Dompet Dhuafa, dan Mualaf Center Indonesia. Namun, apabila dihitung persentase jumlah mualaf dengan lembaga yang tersedia, selisihnya sangat jauh. Butuh lebih banyak lembaga yang serius menangani mualaf. Peran serta pemerintah melalui Kementerian Agama belum optimal dalam pembinaan mualaf. Dari sedikit lembaga pendampingan mualaf ini pun masih berjalan sendiri-sendiri, belum terintegrasi dalam satu wadah yang memiliki kesamaan sistem, program, metode, dan kurikulum. Bahkan untuk sekadar mengetahui jumlah pasti mualaf di Indonesia sangatlah sulit.

Dari fakta ini, lembaga pendampingan yang serius untuk menjadi rumah bagi para mualaf, masih perlu terus diikhtiarkan oleh semua pihak. Tantangan ini menjadi landasan Yayasan Suciati Saliman Rahardjo untuk mendirikan Madrasah Mualaf Suciati Saliman (MMSS). Tujuannya agar berkhidmat kepada mualaf dalam menyediakan lembaga pendidikan khusus, lembaga yang profesional, memiliki kurikulum tepat guna, tempat nyaman untuk belajar, dan waktu yang bisa dijangkau oleh mualaf.

Dari pengalaman membina mualaf, beberapa kendala yang dihadapi di lapangan adalah menentukan prioritas ilmu yang ingin dipelajari, karena ilmu keislaman sangat luas. Madrasah harus menentukan fokus apa yang ingin dipelajari di awal. Terkadang ada yang ingin menguatkan akidah dengan fokus ke kajian tauhid atau iman, sebagian lainnya ingin fokus di kajian fikih agar bisa ibadah dengan lebih baik, fokus lainnya yang ingin dipelajari membaca al-Qur’an. Banyaknya bidang keilmuan yang ingin dikaji ini membutuhkan salah satu prioritas tanpa meninggalkan yang lain. Kalau dikejar berbarengan seluruhnya dikhawatirkan kajian terlalu luas, memakan waktu lama khawatir membuat jenuh.

Hidayah Adalah Hadiah

Mualaf adalah orang yang baru masuk Islam atau orang yang imannya belum kukuh karena masih baru mengenal Islam. Para mualaf ini adalah orang baik yang mendapatkan hadiah berupa hidayah—petunjuk atau bimbingan dari Allah Swt. Dalam keyakinan umat Islam, Tuhan menghapus segala kejahatan (dosa) yang telah dilakukan mualaf ketika ia masuk Islam.

Orang-orang baik ini harus diwadahi oleh lembaga yang baik. Ketika mereka masuk ke tempat pembelajaran Islam yang keliru bisa menggiring mereka ke dalam pemahaman yang keliru pula. Kalau mereka belajar Islam dari lembaga dan guru yang senang dengan permusuhan, menyalahkan kelompok lain, mengkafirkan orang lain, sudah barang tentu para mualaf akan memiliki ideologi yang sama dengan pengajar dan lembaga yang mendampinginya. Bisa jadi, fenomena para mualaf yang menjelekkan agama terdahulunya karena salah dalam memilih tempat kajian. Sayangnya, masih banyak mualaf memberikan “testimoni” yang menjelekkan agama terdahulu. Hal ini mudah dijumpai di YouTube. Kalau terus dibiarkan bisa berbahaya, karena melukai perasaan umat agama lain. Fenomena mencaci iman orang lain ini menjadi langgeng karena dinormalisasi sebagai sesuatu yang baik dan benar.

Dalam keyakinan Islam, iman adalah hak prerogatif Tuhan, manusia tidak bisa memberi iman walau kepada orang yang sangat dicintainya, bahkan Nabi sekalipun. Manusia hanya bisa mendoakan dan mengusahakan, hasil akhirnya ada pada Tuhan. Ketika menjelekkan iman orang lain dengan harapan agar mereka tertarik kepada Islam merupakan tindakan keliru. Seperti seorang pedagang yang berharap agar tokonya laku dengan menjelekkan dan mengencingi toko sebelah. Namun, lupa memperbaiki tokonya sendiri, tidak memberikan pelayanan prima, produk tidak berkualitas, dan harga tidak kompetitif. Lama-lama tokonya akan ditinggalkan. Lebih baik fokus memperbaiki toko sendiri, berikan pelayanan, nilai, dan kualitas terbaik kepada pelanggan, dengan sendirinya mereka akan loyal.

Empati Begitu Berarti

Oleh karena itu, menyediakan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu agama yang komprehensif dengan waktu dan cara yang efisien menjadi kebutuhan yang niscaya. Institusi profesional yang diisi oleh pengajar yang memiliki kompetensi keilmuan menjadi kebutuhan yang harus segera disiapkan, agar para mualaf bisa mengakses Islam dari para pakar. Agar wajah Islam yang diajarkan adalah wajah Islam yang inklusif. Ramah kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan, menghormati perbedaan, menjaga hak dan kewajiban orang lain, dan menjaga kualitas diri dengan ibadah terbaik kepada Allah Swt. mualaf dididik agar fokus ke dalam dirinya, tidak sibuk menyalahkan urusan orang lain.

Ini menjadi tanggung jawab siapa saja yang mampu secara finansial dan intelektual menyediakan tempat belajar terbaik. Karena berbahaya sekali kalau mualaf dibiarkan belajar kepada guru yang tidak memiliki kualifikasi keilmuan. Ketika madrasah mualaf diisi oleh para ulama yang memiliki kedalam ilmu dan keluasan pengalaman dalam khidmah pelayanan umat, mereka akan mendapatkan ilmu terbaik dari guru terbaik. Mereka juga akan mengunduh hikmah kebijaksanaan yang dimiliki para guru mulia. Bisa dibayangkan bagaimana dampak besar yang didapatkan para mualaf ketika belajar ilmu di tempat terbaik dan dari guru terbaik, mereka kelak bisa menjadi duta besar Islam yang ramah dan mencintai sesama. Segala yang keluar dari lisannya adalah ilmu dan hikmah.

Pengalaman mendapat hidayah para mualaf sangat beragam dan unik, tidak ada formula pasti bagaimana proses mereka mendapat hidayah. Dari cerita para mualaf, saya banyak mendengarkan kisah mengharu biru, ada yang karena mendengarkan azan, bertemu seseorang dalam mimpi, perjumpaan yang berkesan dengan seorang Muslim, pernikahan, dan banyak lagi pengalaman spiritual yang bisa jadi setiap mualaf berbeda.

Namun, setelah mendapatkan hidayah dan mereka memutuskan bersyahadat menjadi seorang Muslim, perjalanannya tidak berhenti di situ. Ada banyak tantangan yang dihadapi mereka. Pertama, akses pendidikan keagamaan. Sebagai orang yang tidak terlahir dalam agama Islam, perlu waktu dan keinginan yang kuat agar bisa belajar agama Islam secara komprehensif. Kedua, terkadang akses ekonomi mengalami guncangan, tidak semua mengalami ini, tetapi banyak dari mereka yang setelah memutuskan masuk Islam harus kehilangan sumber pendapatan utama. Ketiga, hubungan dengan keluarga terganggu. Banyak dijumpai mualaf mengalami hubungan yang buruk dengan keluarganya, dibenci, dan dimusuhi karena dianggap mengotori nama baik keluarga dan lain-lain. Dan banyak lagi rintangan yang dihadapi. Bagi sebagian mereka yang beruntung tantangan ini mungkin tidak terlalu mengguncang jiwanya.

Syariat Islam mengetahui bahwa perjalanan mualaf tidak selalu mudah, oleh karenanya umat Islam dianjurkan untuk peduli kepada mereka. Dalam Islam salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah kelompok mualaf. Kepedulian, simpati, dan empati umat Islam sangat berharga bagi perjalanan mereka menuju kematangan spiritual.

[1] Pengasuh Pesantren Suciati Saliman & Direktur Madina Institute Indonesia

Penyunting: Mauliya Redyan Nurjannah

Penyelaras Aksara: Ayu Festian Larasati

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *