Islam dan Tanggung Jawab Ekologis: Refleksi atas Realitas Kehidupan Beragama
Ditulis oleh: Ahmad Zaki Fadlur Rohman
Beberapa tahun terakhir, kehidupan manusia mengalami masalah serius. Berbagai bencana alam terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Di Indonesia saja, rentetan bencana alam terjadi tiap tahunnya. Berdasarkan Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 2.188 kasus bencana alam terjadi sepanjang 2022. Di antaranya, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, abrasi, kekeringan, dan lainnya.
Penting untuk disadari realitas kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini membawa tanggung jawab besar bagi manusia. Manusialah yang berkewajiban penuh untuk menjaga, merawat, dan melestarikan lingkungan. Alam dengan segala kompleksitas unsur yang terkandung di dalamnya telah banyak dimanfaatkan untuk menopang kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab moral atas dampak negatif dan kerusakan alam yang terjadi saat ini.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP) bertajuk food waste index 2021, Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara. Setiap tahun, total sampah makanan yang diproduksi Indonesia mencapai 20,93 juta ton. Bahkan di tingkat dunia, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara produksi sampah sisa makanan. Hal tersebut berdasarkan data laporan The Economist Intelegent Unit (EIU) pada 2011 bertajuk Fixing food: Toward the More Sustainable Food System.
Sampah-sampah makanan ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia. Dampak yang paling mengkhawatirkan dari sampah makanan adalah krisis pangan. Hal ini terjadi akibat ketidakmampuan manusia memanfaatkan sumber daya secara optimal. Membuang sisa makanan sama artinya dengan menyia-nyiakan waktu, tenaga, dan biaya dalam proses produksi. Perilaku tersebut secara tidak langsung dapat menyebabkan kelangkaan pangan.
Dampak yang lebih parah dari food waste ini dapat memicu pemanasan global. Sisa makanan yang menumpuk dalam jumlah besar berpotensi menghasilkan gas metana. Gas metana inilah salah satu penyebab utama pemanasan global melalui efek rumah kaca.
Fakta tersebut membuat saya, sebagai umat Muslim tercengang. Bagaimana tidak, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Logikanya, jika Indonesia penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia maka sebagian besar tanggung jawab dibebankan kepada umat Muslim. Lantas, benarkah demikian?
Cobalah lihat dan renungkan realitas yang terjadi saat puasa Ramadan. Apakah umat Muslim benar-benar menahan diri dari kehidupan yang serba lebih? Benarkah umat Muslim makan hanya dua kali sehari, yakni di waktu sahur dan berbuka? Nyatanya tidak demikian, justru di bulan Ramadan umat Muslim lebih sibuk memenuhi meja makan dengan beragam menu makanan. Sayangnya, hal ini berujung pada pemborosan yang menghasilkan sampah.
Coba renungkan juga bagaimana realitas di balik kajian-kajian akbar atau majelis sholawat yang dilaksanakan belakangan ini. Beberapa hari lalu, saya merasa terenyuh melihat jalanan kotor dipenuhi sampah yang dihasilkan oleh puluhan ribu jemaah sholawat. Apa yang terasa ironis dari peristiwa tersebut adalah paradoksnya. Di satu sisi kita mengaku mencintai Nabi, mengagungkan namanya, serta berharap syafaatnya. Namun, di sisi lain kita tidak sadar telah mengotori bumi yang juga ikut bersholawat kepada Kanjeng Nabi.
Belum lagi kaum kapitalis dengan beringas mengeruk habis bumi, membabat hutan untuk keperluan industri, dan mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Dampaknya memperparah kondisi lingkungan. Alam menjadi mandul dan menyisakan kemarahan sehingga menimbulkan bencana. Risiko terburuknya adalah ketidakmampuan alam menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar makhluk hidup. Di samping menimbulkan kelangkaan, hal tersebut juga akan menghambat kemajuan peradaban.
Kelangkaan sumber daya alam begitu kritis, hingga dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, manusia mungkin akan beradu nyawa hanya perkara sekilo beras; seliter air; atau sejengkal tanah tempat hidup.Tak sampai sepuluh tahun lagi, kemungkinan Jakarta tenggelam dan beberapa negara kepulauan kecil akan lenyap.
Gejala kerusakan alam ini mencerminkan rendahnya moralitas manusia. Hal ini terindikasi dari minimnya kesadaran umat beragama untuk bertobat atas tindakan merusak alam. Lantas, apakah fakta-fakta tersebut belum cukup untuk membuat kita sadar akan urgensi persoalan lingkungan?
Sebagai umat Muslim, kita diperintahkan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 56). Begitu juga di dalam QS. Hud [11]:6, Allah berfirman,“Dia telah menciptakanmu dari Bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.”
Ajaran Islam sebetulnya sudah sangat komprehensif sebagai pedoman hidup dalam menjaga alam. Sebagai umat Muslim, kiranya kita perlu menyadari kembali perintah Al-Qur’an dan Hadis dalam upaya melestarikan lingkungan. Begitu banyak anjuran mengenai tanggung jawab untuk menjaga alam serta larangan merusaknya. Anjuran dan larangan ini sebisa mungkin dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjalankan perintah untuk menjaga alam juga merupakan bagian dari komitmen dan integritas manusia sebagai khalifah.
Agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan berbagai ajarannya harus kita pahami secara utuh. Sehingga ajaran agama tidak berhenti pada basis pengetahuan atau kepercayaan semata. Lebih dari itu, ajaran agama harus sampai pada basis tindakan serta menjadi etos dan spirit untuk menjaga alam. Jika hal ini dapat dijalankan dengan baik setidaknya, kita dapat menekan angka kerusakan alam yang kian memprihatinkan.
Penyunting: Mauliya Redyan Nurjannah
Penyelaras Aksara: Faqiha Mita Afifa
Leave Your Comments
Copyright 2024, All Rights Reserved
One Comment to 'Islam dan Tanggung Jawab Ekologis: Refleksi atas Realitas Kehidupan Beragama'
nizar
15 Januari 2024 at 8:38 ammantap