RIBA (NGERI BANGET): DILEMA BEKERJA DI BANK KONVENSIONAL
- 20 Mei 2024
- Masjid Suciati Saliman
- Fikih
- 759 views
Ditulis oleh: Mauliya Redyan Nurjannah
Apakah bunga bank termasuk riba? Topik ini menjadi perdebatan panjang di kalangan para ulama. Terlebih beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis mengecam para pelaku riba. Berikut salah satu hadis tentang riba.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَاحِ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَ عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللّٰه عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَا وَ مُؤْكِلَهُ وَ كَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Muhammad bin Ash-Shabah, Zuhair bin Harb, dan Utsman bin Abu Syaibah telah memberitahukan kepada kami, mereka berkata, “Husyaim telah memberitahukan kepada kami, Abu Az-Zubair telah mengabarkan kepada kami” dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah SAW mengutuk pemakan riba, pemberi riba, pencatat, dan kedua saksinya” Beliau melanjutkan, “mereka semua sama” (Ditakhrij hanya oleh Muslim, Tuhfah Al-Asyraf, nomor 2991).
Apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita ketika membaca hadis ini?
Bagi sebagian orang yang tidak pernah bersentuhan dengan riba, hadis ini akan menjadi pengingat supaya lebih berhati-hati dalam bermuamalah. Akan tetapi, bagaimana dengan orang yang terlanjur terjerumus dalam permasalahan tersebut?
Dijelaskan dalam Surah Ali-Imran ayat 130 bahwa riba merupakan praktik yang tidak dibenarkan dalam Islam. Pelaku riba, baik langsung maupun tidak langsung tetap dilarang, seperti penjelasan hadis di atas. Hal ini sesuai dengan kaidah sad adz-dzari’ah (meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang). Lalu, apa yang dimaksud dengan riba?
Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Rawa-i’ al-Bayan mengartikan riba sebagai kelebihan (atas pokok utang) yang diambil oleh kreditur (orang yang memberikan utang) dari debitur (orang yang berutang) sebagai imbalan atas masa pembayaran utang (Majelis Ulama Indonesia, 2004).
Pertanyaan selanjutnya, apakah bunga bank termasuk riba? Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam Kitab Fawa’id al-Bunuk menjelaskan bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan (Majelis Ulama Indonesia, 2004).
Pada intinya, semua ulama sepakat bahwa riba diharamkan. Namun, lain halnya ketika membahas apakah bunga bank termasuk riba atau tidak. Pembahasan bunga bank masih menjadi khilafiyah yang akhirnya menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan, ada pula yang berpendapat sebaliknya.
Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Bunga Bank
Menurut Fatwa DSN-MUI tahun 2004, riba (interest/fa’idah) merupakan tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjam uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa pertimbangan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam memaknai bunga bank. Umumnya, perbedaan pandangan ini menghasilkan pembagian menjadi dua aliran utama dalam pemikiran Islam (Azwar, 2019).
Golongan pertama menyatakan bahwa bunga bank adalah riba di antaranya: Syekh Yusuf al-Qardhawi, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Syekh Abu Zahra, dan Syekh Muhammad al-Ghazali. Pendapat ini memiliki argumentasi bahwa transaksi di bank menimbulkan kelebihan yang harus dibayar (bunga) dari transaksi sesuatu yang sejenis, yakni uang dengan uang. Selanjutnya, uang kertas diqiyaskan dengan emas dan perak yang merupakan barang ribawi. Konsekuensi hukum ini adalah uang kertas tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Selain empat ulama tersebut, M. Umer Chapra dan M. Akram Khan yang merupakan Pakar Ekonomi terkemuka dari Pakistan berpendapat bahwa bunga bank dihukumi haram secara ijma’. Kedua Pakar tersebut menyatakan, tidak ditemukannya ahli ekonomi Islam yang menghalalkan bunga bank. Sekalipun ada sebagian kecil yang membolehkan. Namun, mereka tidak memiliki kapasitas sebagai ahli ekonomi (Baihaqi et al., 2022).
Di Indonesia sendiri, terdapat fatwa DSN-MUI nomor 1 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa bunga pada lembaga keuangan konvensional telah memenuhi kriteria riba nasi’ah. Di mana transaksi bunga bank pada dasarnya merupakan akad utang. Menurut sebagian besar ulama, sedikit atau banyaknya riba nasi’ah, tetap dihukumi haram.
Fatwa DSN-MUI tahun 2003 juga mencatat beberapa jenis kegiatan usaha yang dilarang. Di antaranya, bank konvensional, perjudian, dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang terlarang. Selain itu, produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman haram atau penyedia barang yang dapat merusak moral (DSN-MUI, 2003).
Larangan praktik riba berlaku pada bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun yang dilakukan oleh individu.
Golongan kedua menyatakan bahwa bunga bank bukan termasuk riba. Pernyataan ini berdasarkan pendapat Syekh Ali Jum’ah, Syekh Ahmad Thayyib, Syekh Abdul Wahab Khalaf, dan Abdullah bin Saeed, seorang Ahli Tafsir Kontemporer.
Pendapat tersebut berlandaskan Surah An-Nisa ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Bunga bank tidak dihukumi riba. Mereka berpendapat bahwa bunga bank yang didapatkan oleh kreditur maupun debitur dilakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada orang yang terzalimi dalam praktik tersebut karena didasarkan keridaan dan diketahui saat awal transaksi. Selain itu, Dar Ifta’ Mesir meyakini bahwa uang kertas tidak bisa diqiyaskan dengan emas dan perak sebab nilainya cenderung stabil (Baihaqi et al., 2022). Beda halnya dengan uang kertas yang riskan terhadap inflasi.
Darul Ifta’ Mesir juga telah beberapa kali mengeluarkan fatwa dalam menentukan status bunga bank. Di antaranya, fatwa no. 16504, dikeluarkan pada Maret tahun 1991, fatwa 15053 yang dikeluarkan Maret pada 2019, dan fatwa no.16218 yang dikeluarkan pada 2021. Fatwa tersebut menyatakan bahwa bunga bank konvensional hukumnya halal dan diperbolehkan.
Bagaimana Hukum Bekerja di Bank Konvensional?
Pada dasarnya, meninggalkan bank konvensional seolah menjadi sebuah paradoks. Mengapa demikian? Karena kita terjebak dalam kenyataan bahwa sistem perbankan konvensional telah merasuk dalam setiap celah aktivitas ekonomi. Di lain sisi, fundamental ekonomi menjadi penentu utama stabilitas transaksi, termasuk kerangka kerja pemerintah. Ustaz Adi Hidayat pada salah satu kajiannya menyampaikan, terdapat dua pilar pokok dalam pemerintahan. Apabila kedua aspek ini terganggu maka akan menimbulkan goncangan di ranah pemerintahan. Kedua aspek tersebut, ialah stabilitas ekonomi dan stabilitas politik.
Sementara itu, transaksi di perbankan ibarat sebuah bensin yang dapat menyelamatkan roda perputaran ekonomi. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan akan ketergantungan masyarakat terhadap bank konvensional. Lalu, bagaimana hukum bekerja di bank konvensional?
Ustaz Dr. Oni Sahroni, Lc., M.A., selaku Dewan Pengawas Syariah dan Pakar Fikih Muamalah memberikan pernyataan tidak diperkenankannya bekerja atau bermitra di bank konvensional. Argumentasi tersebut berdasarkan hasil telaah bagian demi bagian literatur Fikih Turats, Fatwa DSN-MUI, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOFI), dan ulama fikih kontemporer.
Menjadi pengecualian apabila dalam kondisi darurat. Parameter darurat di antaranya: 1) Darurat sistem, yaitu apabila sistem global secara sistemik mengharuskan adanya entitas konvensional, apabila tidak ada akan berdampak pada entitas syariah. 2) Darurat potensi dakwah di lembaga keuangan konvensional, artinya mengharuskan seseorang yang memiliki kewenangan untuk membuat sistem yang sesuai syariah sehingga ada tujuan dakwah bukan hanya untuk mencari pendapatan murni. 3) Darurat pribadi, artinya bekerja di bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak ada alternatif lain. Kendatipun ada, tidak dapat dilakukan dengan mudah.
Fatwa DSN-MUI nomor 1 tahun 2004 dalam hal ini juga menetapkan bahwa bunga bank adalah riba. Apabila di suatu daerah terdapat bank syariah yang dapat dimanfaatkan sebagai solusi fasilitator maka haram menggunakan bank konvensional. Akan tetapi, diperbolehkannya bank konvensional apabila bank syariah tidak mampu menjangkau nilai-nilai pekerjaan yang sedang dilakukan. Hal tersebut dimaksud untuk menghindari kemudharatan pada perekonomian. Ustaz Adi Hidayat membenarkan fatwa tersebut dengan syarat seseorang yang bekerja di bank konvensional atau sebagai nasabah harus tetap ikhtiar untuk mencari sistem yang lebih kuat.
Ustaz Adi Hidayat berdalil “Semua yang berhukum tetap, ketika ada sebab tertentu maka hukumnya akan berubah. Namun, perubahan hukum tersebut sifatnya sementara sampai hilangnya penyebab perubahan hukum”. Sebagai contoh, ketika seseorang tersesat di hutan dan tidak memiliki makanan halal maka diperbolehkan memakan babi. Dihalalkannya memakan babi hanya untuk mengganjal rasa lapar bukan untuk dinikmati. Namun, begitu menemukan alternatif maka babi sudah tidak halal lagi.
Memilih Lingkungan Kerja
Polemik dalam menjalankan kegiatan ekonomi supaya terhindar dari praktik yang dilarang syariat, seperti riba, garar, dan lainnya menjadi tantangan besar umat Islam. Melarang secara mutlak seorang Muslim yang bekerja di bank konvensional dapat menimbulkan masalah baru. Dikarenakan dapat memberikan peluang bagi non-Muslim untuk menguasai dunia perbankan yang berakibat fatal.
Praktik riba tidak serta merta dapat diperbaiki dengan larangan terhadap seseorang yang bekerja di bank atau perusahaan yang bersentuhan dengan aktivitas tersebut. Maka dari itu, semua elemen masyarakat seharusnya turut berkontribusi dalam mengembangkan bank syariah. Kendatipun ada argumentasi yang menyatakan bahwa bank syariah tidak sepenuhnya menerapkan hukum yang berdasarkan ketentuan syariat. Namun, ada sebuah kaidah fikih yang menyatakan “Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya janganlah ditinggal seluruhnya”.
Kerusakan sistem oleh golongan kapitalis ini hanya dapat diupayakan oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, perubahan itu tentu harus diupayakan dengan beberapa tahapan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat merugikan negara.
Berikut pesan dari Buya Yahya, terutama bagi masyarakat Muslim supaya mendapatkan keberkahan dalam segala aktivitas yang dilakukan. Beliau menyampaikan “Hidup adalah sebuah pilihan, selama kita mampu memilih maka pilihlah lingkungan kerja yang bersih. Tanpa ada sesuatu yang meragukan, apalagi bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan. Sesuatu yang haram akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Alangkah baiknya orang beriman yang selalu berupaya untuk menghindari aktivitas yang dilarang.” Andaipun ada yang berkeinginan untuk tetap bekerja di bank maka beliau menyarankan untuk membesarkan bank syariah.
“Sepanjang bisa diupayakan dengan bank syariah maka sebaiknya dianjurkan untuk memilih bank syariah. Apabila tidak mampu maka boleh menggunakan bank konvensional dengan tujuan sebagai jembatan sementara dalam menjalankan pekerjaan atau sebagai wasilah bukan tujuan.” petuah Buya Yahya.
Sudut Pandang Penulis
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa riba hukumnya haram. Namun, apakah bunga bank termasuk riba? Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama, sebagai bentuk kehati-hatian, Penulis meyakini bahwa bunga bank merupakan riba yang diharamkan. Kecuali dalam kondisi darurat sebagaimana yang tertuang dalam Fatwa DSN-MUI. Dikarenakan adanya kelebihan pembayaran atas transaksi pinjam meminjam yang dipraktikkan. Sistem ini dapat berakibat fatal apabila terjadi goncangan ekonomi.
Terbukti ketika krisis yang terjadi pada 1998, bank konvensional mengalami kelumpuhan. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika saat krisis melebihi angka 300% sehingga perusahaan kesulitan membayar utang luar negeri ditambah dengan bunga yang meningkat drastis. Beda halnya dengan bank syariah yang cenderung lebih resilient (tahan krisis) (Rois & Sugianto, 2021). Bank syariah memiliki regulasi yang tidak membebankan salah satu pihak, baik itu kreditur maupun debitur.
Pengharaman atas bunga bank ini tidak lantas mengutuk pekerja bank konvensional karena bagaimanapun mayoritas masyarakat masih bergantung pada bank konvensional. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Buya Yahya bahwa sebagai seorang Muslim yang baik perlu berhati-hati dalam memilih lingkungan kerja. Hal ini dimaksud supaya kita dapat menjalankan kehidupan dengan tenang dan penuh keberkahan.
Apabila sudah terlanjur bekerja di bank konvensional, perlu adanya ikhtiar untuk mencari yang lebih baik tanpa harus terburu-buru meninggalkan pekerjaan tersebut. Di samping itu, mayoritas ulama dan pakar ekonomi serta forum internasional sudah menyatakan dengan tegas bahwa bunga bank diharamkan. Maka tentunya menjadi perhatian bersama bahwa semua elemen masyarakat harus lebih aware untuk mendukung perkembangan bank syariah. Kontribusi ini tentunya sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Wallahua’lam…
Penyunting: Ayu Festian Larasati
Penyelaras Aksara: Nuha
Referensi
Artikel
Azwar, Y. (2019). Bekerja Di Bank Konvesional Menurut Fikih Ekonomi. Equilibrium: Jurnal Ekonomi Syariah, 7(2), 272. https://doi.org/10.21043/equilibrium.v7i2.5424
Baihaqi, A., Syam, S., & Hafsah. (2022). Status Bunga Bank Konvensional (Bank Interest): Studi Komeratif Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dan Darul Ifta’ Mesir. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial Islam. https://doi.org/10.30868/am.v10i02.3184
DSN-MUI. (2003). Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal. Dewan Syariah Nasional MUI, 278–279.
Majelis Ulama Indonesia. (2004). Fatwa MUI Bunga, Interest/Fa’Idah. Himpunan Fatwa MUI, 1–12. https://mui.or.id/produk/fatwa/1011/bunga-interestfaidah/
Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 7 (Darussunnah, Jakarta)
Rois, A. K., & Sugianto, D. (2021). Kekuatan Perbankan Syariah di Masa Krisis. Musyarakah: Journal of Sharia Economic (MJSE), 1(1), 1–8. https://doi.org/10.24269/mjse.v1i1.3850
Website
Youtube
Leave Your Comments